Lompat ke konten
d2c8b4b8-b67a-4187-9546-97bfad20ca32

Senja di Laboratorium Kimia

Aroma menyengat khas laboratorium kimia selalu berhasil membuat sebagian besar siswa bergidik ngeri. Bukan karena bahaya laten di balik botol-botol berlabel rumit, melainkan karena rumus-rumus dan reaksi yang seringkali terasa seperti bahasa alien. Namun, bagi Risa, laboratorium adalah kanvas, dan setiap percobaan adalah goresan kuas yang membuka tabir misteri alam.

Risa bukan siswa paling menonjol dalam hal hafalan teori. Ia lebih suka melihat langsung bagaimana zat-zat tak kasat mata itu berinteraksi, menghasilkan warna-warni kejutan atau endapan misterius. Di balik kacamatanya yang sedikit tebal, matanya selalu berbinar setiap kali Pak Budi, guru kimia yang sabar, menjelaskan mekanisme reaksi.

Suatu sore, menjelang bel pulang berdering, Risa masih berkutat dengan titrasi asam basa. Kelas sudah sepi, hanya menyisakan dirinya dan Pak Budi yang sedang membereskan alat peraga di meja depan. Percobaan kali ini terasa lebih sulit dari biasanya. Titik akhir titrasi seolah enggan tercapai, dan angka-angka di buret terus menari-nari tanpa memberikan hasil yang memuaskan.

Risa menghela napas frustrasi. Ia merasa otaknya buntu, seolah semua rumus dan konsep kimia menguap begitu saja. Ia menatap cairan berwarna merah muda samar di labu erlenmeyer, tanda bahwa seharusnya titrasi sudah selesai. Tapi kenapa angkanya tidak sesuai dengan perhitungan?

Pak Budi menghampirinya, menyadari kegelisahan siswanya. “Ada yang sulit, Risa?” tanyanya lembut.

Risa menceritakan kendalanya, menunjukkan data-data yang berantakan di buku catatannya. Pak Budi mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Risa selesai, ia menunjuk ke arah buret.

“Coba perhatikan skala di buret itu baik-baik, Risa. Apakah kamu yakin membacanya dari meniskus bawah?”

Risa mengerutkan kening, lalu kembali mengamati buret dengan lebih teliti. Ia baru menyadari, karena terburu-buru, ia membaca skala dari bagian tengah cairan, bukan dari lekukan bawah meniskus yang seharusnya. Sebuah kesalahan kecil yang berakibat pada hasil yang tidak akurat.

Dengan hati-hati, Risa mengulang pembacaan dan mencatat angka yang benar. Ia kembali melakukan perhitungan, dan kali ini, semuanya tampak masuk akal. Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya.

“Terima kasih, Pak,” ucap Risa tulus. “Saya terlalu terburu-buru tadi.”

Pak Budi tersenyum balik. “Belajar itu bukan hanya tentang mendapatkan jawaban yang benar, Risa. Tapi juga tentang ketelitian, kesabaran, dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan.” Ia menunjuk ke arah jendela laboratorium, di mana langit senja mulai memancarkan warna jingga keemasan.

“Lihatlah senja itu. Prosesnya perlahan, bertahap, tapi menghasilkan keindahan yang luar biasa. Begitu juga dengan belajar. Terkadang terasa sulit dan melelahkan, tapi setiap langkah kecil, setiap pemahaman baru, akan membawa kita pada pemahaman yang lebih besar.”

Risa terdiam, menatap langit senja yang semakin memukau. Kata-kata Pak Budi terasa menenangkan dan memberinya perspektif baru. Ia menyadari, belajar bukan hanya tentang angka dan rumus, tapi juga tentang proses dan ketekunan.

Sejak sore itu, laboratorium kimia tidak lagi terasa menakutkan bagi Risa. Ia belajar untuk lebih sabar dan teliti dalam setiap percobaan. Ia juga tidak lagi takut untuk bertanya ketika mengalami kesulitan. Baginya, laboratorium kini adalah tempat di mana ia belajar tidak hanya tentang ilmu kimia, tetapi juga tentang arti sebuah proses dan keindahan dari ketekunan, sama indahnya dengan senja di luar jendela laboratorium SMA Muhammadiyah 02 Medan.